HAM vs Positivisme Hukum dan PTUN Menolak Gugatan Perlawanan Pengangkatan Pangdam Jaya.
Oleh Jonaldi Mikael
Menonton siaran pers dalam Channel youtubenya KontraS terkait Putusan Majelis Hakim PTUN DKI Jakarta tanggal 16 Juni 2022 yang tidak adil dan menyesalkan, akhirnya saya teringat kembali akan sebuah tulisan dalam bukunya Prof. Dr. E. Armada Riyanto, CM. "Berfilsafat Politik" dalam sub bab "HAM vs Positivisme Hukum".
Bahwasannya positivisme secara etimologi dari bahasa latin "ponere-posui-positus" yang berarti meletakan, memaksudkan bahwa tindakan manusia itu disebut adil atau tidak sepenuhnya bergantung pada peraturan atau hukum yang diletakan atau diberlakukan.
Positivisme hukum dari sendirinya tidak mengenal prinsip "berlaku surut" (prinsip retroaktif). Positivisme hukum menjadi soal amat serius pada periode sesudah Perang Dunia II. Ini terjadi pada pengadilan mantan tentara Nazi Jerman. Salah satu yang paling terkenal ialah peradilan Adolf Eichmann tahun 1961. Eichmann disebut "Master of Death" bagi jutaan orang-orang Yahudi tahun 1944 di kamp-kamp konsentrasi.
Sesudah perang, dia lari ke Argentina dan ditangkap dan diektradisi ke Israel untuk diadili atas tindakan kejinya sepanjang perang berlangsung.
Dalam peradilan Eichmann dijerat dengan tuduhan telah melakukan "kejahatan atas kemanusiaan". Eichmann membela diri: "Bagaimana saya bisa dipersalahkan telah melakukan sebuah 'kejahatan' selagi pada waktu itu hukum yang berlaku (hukum positif) mewajibkan saya untuk melakukan semuanya itu?"
Positivisme hukum mempromosikan mutlaknya sebuah pemberlakuan delik-delik ketentuan hukum dalam tata hidup bersama. Adolf Eichmann hanyalah sebuah contoh. Kendati telah melakukan kejahatan luar biasa, dia tetap merasa innocent atau tidak bisa dipandang telah berbuat kejahatan melawan kemanusiaan, karena telah merasa tidak melanggar hukum (tidak ada hukum yang melarangnya waktu itu). "I was just following orders." Saya hanya melaksanakan perintah. Sebuah kata-kata terakhir yang dia ucapkan sebagai pembelaan terakhirnya, sekaligus tanda keyakinan bahwa dia tidak berdosa.
Spirit positivistik Eichmann dapat mengalir ke para pelanggar kejahatan konkret perkara HAM di Indonesia, karena pembelaan diri mereka atas nama asas non-retroaktif hukum.
Jika positivisme hukum dikedepankan, prinsip keadilan_atau lebih tepat cita rasa keadilan_lenyap di tanah air kita.
Apa yang ditulis Prof. Dr. E. Armada Riyanto, relevan dengan persoalan yang terjadi. Sebuah gugatan ditolak hanya karena persoalan tidak ada hukum yang mengatur. Padahal persoalan yang digugat menyangkut ketidak hormat hak asasi oleh aparat TNI selaku pelanggar HAM berat masa lalu.
Adolf Eichmann sama posisinya disini dengan hakim hanya saja Adolf Eichmann berposisi menolak tuduhan sementara Majelis Hakim berposisi membuat keputusan namun sama-sama bertopeng dari keadilan dengan mengeluarkan keputusan "tidak ada hukum yang mengatur."
Jelas bahwa seperti yang dikatakan Prof. Dr. Armada Riyanto
"Jika positivisme hukum dikedepankan, prinsip keadilan_atau lebih tepat cita rasa keadilan_lenyap di tanah air kita."
![]() |
| Mikael Jonaldi, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang, Kosentrasi Hukum Internasional. |



Komentar
Posting Komentar