KEBODOHAN KARENA SENIORITAS
by Jonaldi Mikael
![]() |
| foto :ruang diskursus dan kebebasan berpikir organisasi HIPPMAPORA Kupang |
Berpikir adalah kebebasan yang hukum sekalipun tidak bisa mengganggu-gugatnya.
Bergulirnya
orde baru menuju reformasi ternyata tidak membawah perubahan yang signifikan
khusus terhadap organisasi kemahasiswaan. Apa mungkin karena arah perjuangan
para akademisi dan kaum tertindas dimasa itu adalah reformasi bukan revolusi. Saya
pikir bahwa konsep adanya reformasi dan revolusi memiliki arah perjuangan yang
hampir sama. Sama-sama membicarakan perubahan. Sehingga, baik reformasi ataupun
revolusi akan berpengaruh tergantung polarisasi akal sehat yang merekam setiap
jejak perubahan dan pergerakan. Tetapi tidak untuk konsep organisasi hari ini.
Bagaimana
tidak organisasi yang tumbuh dan berkembang begitu banyak gema dalam balutan
kebebasan tetapi mentok pada konsep yang sudah mendarah daging dalam organisasi
itu sendiri. Realita yang sering terjadi misalnya senioritas. Bisa dikatakan
penjajahan secara halus. Menuntut dihargai, dihormati. Apa iya punya basis
pengetahuan yang kuat untuk mendukung senioritas yang digenggamnya. Tetapi
ternyata banyak catatan yang mengungkap masalah kemanusiaan dibalik konsep
senioritas ini.
Bagaimana
bisa konsep senioritas ini eksis sementara akademisi adalah organ dalam
lingkarannya. Ternyata lembaga pendidikan tidak mendeteksi sejauh itu. Sehingga
baik organisasi intra maupun ekstra kampus mengembangkan konsep konyol ini.
Kemerdekaan berpikir seakan dibatasi konsep senioritas yang sok tahu dan sok
jago. Berujung pada memperpanjang barisan perbudakan _ meminjam kata Wiji
Thukul.
Organisasi
seharusnya menjadi ruang diskursus, bertarungnya ide dan gagasan, mempertajam
analisis tetapi itu absen ditelan zaman. Wadah organisasi seakan-akan menjadi
tempat beternaknya konsep senioritas ini.
Bagaimana untuk merombak konsep
ini?
Sistem
yang mengakomodir kaum akademisi, mahasiswa khususnya harus terbebas dari hal
konyol semacam ini. Berdiri independen. Urusan saling menghargai dan
menghormati telah lama diajarkan (dalam keluarga contohnya) dan akan terbentuk
serta berkembang dengan sendirinya apabila polarisasi akal sehat dan konsumsi
pengetahuan menjadi prioritas apalagi sekelas mahasiswa.
“Keyakinan-keyakinan
yang salah membuat seseorang tidak menyadari tujuan-tujuan baik dan kebenaran
lebih baik daripada kepalsuan”
_ Bertrand
Russel_
![]() |
| Jonaldi Mikael, mahasiswa fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana. |


Komentar
Posting Komentar